Imam Ibnu ‘Ashim dan yang lainnya meriwayatkan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, “Setan berkata : Aku telah membinasakan manusia dengan dosa-dosa. Akan tetapi mereka membinasakanku dengan laa ilaha illallah dan istighfar. Ketika aku melihat hal itu aku pun menyebarkan di tengah mereka penyimpangan (hawa nafsu dan bid’ah). Sehingga mereka berbuat dosa namun tidak beristighfar. Karena mereka mengira bahwa dirinya melakukan perbuatan baik dengan sebaik-baiknya.” (lihat Ikramul Muwahhidin, hal. 9)
Hadits ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa para pemuja hawa nafsu -dan yang terdepan diantara mereka adalah ahlul bid’ah- termasuk jajaran orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan. Sehingga di dalam dirinya terdapat bagian syirik yang menghalanginya dari memohon ampunan. Adapun orang yang benar-benar merealisasikan tauhid dan istighfar niscaya akan tersingkir keburukan darinya. Karena itulah Allah seringkali menggandengkan antara tauhid dengan istighfar dalam banyak ayat al-Qur’an (lihat Ikramul Muwahhidin karya Syaikh Abdullah bin Shalih al-‘Ubailan hafizhahullah, hal. 9-10)
Mengapa setan mengatakan bahwa dia dibinasakan oleh manusia dengan tauhid dan istighfar. Jawabannya –wallahu a’lam– adalah disebabkan di dalam dua kalimat ini terkandung pokok dan pilar utama penghambaan kepada Allah. Sebagaimana diterangkan oleh para ulama, bahwa ibadah kepada Allah ditegakkan di atas dua pilar utama; yaitu puncak kecintaan dan puncak perendahan diri. Di dalam kalimat laa ilaha illallah terkandung puncak kecintaan -dimana seorang hamba menjadikan kecintaannya kepada Allah di atas segala hal- sedangkan di dalam kalimat istighfar terkandung puncak perendahan diri -dimana hamba mengakui segala dosanya-.
Hal itu disebabkan poros ibadah itu adalah rasa cinta dan ia dikendalikan oleh rasa takut. Ibadah tanpa kecintaan adalah hampa, sebagaimana ibadah tanpa rasa takut kepada hukuman Allah adalah sikap lancang dan meremehkan. Di dalam kalimat laa ilaha illallah terkandung penetapan bahwa hanya Allah yang berhak mendapatkan ibadah. Ibadah mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai Allah. Dengan demikian seorang hamba tidak akan mencintai kecuali apa yang Allah cintai. Oleh sebab itu orang beriman membenci kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan sebagaimana ia mencintai iman dan melihatnya sebagai hal yang indah dan menyenangkan. Dari situlah setan terkalahkan oleh kalimat tauhid; karena kalimat ini meruntuhkan syirik dari akar-akarnya.
Adapun kalimat istighfar mengandung pengakuan hamba tentang kefakiran dan kehinaan dirinya di hadapan Allah. Pengakuan bahwa dirinya penuh dengan dosa dan kesalahan. Sehingga dari situlah akan lahir taubat dan upaya untuk memperbaiki diri. Sebuah pengakuan yang bisa jadi jauh lebih bermanfaat daripada sekian banyak amal ketaatan. Karena dengan pengakuan inilah ia akan kembali tunduk dan merendah di hadapan Allah. Dimana ia akan merobohkan dinding kesombongan dan mencabut akar keangkuhan. Dengan kesadaran inilah ia akan berusaha keras memeriksa amalnya; ikhlas ataukah tidak, sesuai tuntunan ataukah tidak. Dari sinilah setan akan terkalahkan oleh kalimat istighfar yang penuh penghayatan dari pelakunya.
Sementara jika kita perhatikan cara setan dalam menyesatkan manusia, tidak terlepas dari dua gaya; menumbuhkan kecintaan kepada pujaan atau sesembahan selain Allah atau membisikkan berbagai kerancuan dan kesamaran agar manusia tenggelam dalam kesesatan dengan anggapan bahwa dirinya di atas kebenaran. Inilah dua macam tipu daya setan dalam menggelincirkan manusia dari jalan yang lurus. Dari cara pertama muncul berbagai model syirik, sedangkan dari cara kedua lahir segala bentuk bid’ah dan penyimpangan. Untuk mengantisipasi kedua macam kerusakan inilah seorang hamba butuh perealisasian kalimat tauhid dan istighfar di dalam hidupnya.